Kesetaraan Gender di Bidang TIK

Kenapa milih judul blog ini karena rasanya isu perempuan di bidang TIK kurang menjadi concern utama. Saya mulai belajar isu ini saat mendapat kesempatan dari salah satu kolega, Ms. Anju Mangal, alumni IVLP yang berasal dari Fiji untuk mendapakan pelatihan dari eSkillsPolicy Maker di tahun ini pada bulan Februari yang diadakan oleh World Wide Web Foundation/Alliance for Affordable Internet (A4AI). Alhamdulillah, Allah selalu memberikan kesempatan yang lebih baik bagi hambanya yang mau belajar. 

Awalnya saya sebagai perempuan pun tidak terlalu memperhatikan isu gender ini. Padahal saya sendiri juga hanya segelintir perempuan yang bisa mendapatkan kesempatan untuk memimpin program strategis di Kementerian Kominfo yaitu UMKM Go Online. Selama 1 tahun menangani program, UMKM di Indonesia didominasi oleh kaum perempuan. Berdasarkan Data KemenkopUKM maka jumlah UMKM yang dikelola oleh perempuan adalah sebesar 64,5% dari jumlah keseluruhan UMKM atau mencapai 37 juta UMKM. Kontribusi perempuan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia (GDP) mencapai 9,1 persen dan kontribusi terhadap ekspor lebih dari 5 persen. Hal ini menandakan bahwasanya perempuan Indonesia sudah berperan penting dalam perekonomian nasional. Saat diberikan amanah menjalankan program UMKM Go Online memang mayoritas kaum perempuan yang berdagang di 120 pasar tradisional di 20 Kabupaten/Kota yang mendapatkan pendampingan door to door untuk bertransformasi dari jualan offline menjadi online.

Namun, kesenjangan digital di Indonesia masih relatif tinggi, jumlah pengguna internet Indonesia yang mencapai 171,2 juta jiwa (APJII, 2019). Berdasarkan data di tahun 2017, jumlah perempuan yang menggunakan internet hanya 48,6 persen, tapi naik  dari 47,5 persen di tahun 2016. Bahkan apabila mengacu pada laporan dari World Wide Web Foundation yang berjudul "Women's Right Online" di tahun 2015, bahwa kesenjangan digital di Indonesia cukup signifikan. "Dari rata-rata keseluruhan hanya 20 persen perempuan Indonesia yang memperoleh akses internet, hanya 26 persen yang mau menyampaikan opini secara online untuk mencari informasi kritikal tentang hak perempuan serta hanya berkisar 5 persen yang menggunakan internet untuk mengekspresikan pandangannya terkait informasi di website yang mendukung kesetaraan hak dan gender.

Tantangan terbesar untuk mengatasi kesenjangan digital adalah upaya literasi digital kaum perempuan. Kementerian Kominfo memiliki program untuk mengakselerasi ekosistem ekonomi digital di Indonesia melalui percepatan transformasi digital di Indonesia. Presiden Jokowi tanggal 3 Agustus 2020 menyampaikan 5 Langkah Percepat Transformasi Digital yaitu:

1. Segera lakukan percepatan perluasan akses dan peningkatan infrastruktur digital dan penyediaan layanan internet.

2. Persiapkan roadmap transformasi digital di sektor-sektor strategis. Baik di sektor pemerintahan, layanan publik, bantuan sosial, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri, maupun penyiaran.

3. Percepat integrasi pusat data nasional.

4. Siapkan kebutuhan SDM talenta digital.

5. Yang berkaitan dengan regulasi, skema pendanaan dan pembiayaan segera disiapkan secepat-cepatnya.

Mari kita kembali ke laptop, saya pun mendapatkan banyak pengetahuan dari Web Foundation. Berikut ini beberapa summary yang dapat kita pelajari bersama untuk menyusun kebijakan TIK berbasis gender. Bagaimana pendekatannya akan saya coba jelaskan:

1. Memastikan bahwa analisis dilaksanakan dengan tujuan penyusunan kebijakan dan rencana yang terintegrasi dengan pertimbangan gender mulai dari pengembangan infrastruktur jaringan untuk strategi dan prioritas akses secara umum.

2. Melibatkan advokasi gender dan ahli dalam proses perencanaan dan penyusunan kebijakan yang dimulai dari pengembangan kebijakan berorientasi perempuan.

3. Membentuk target dan waktu untuk mencapai kesetaraan gender dalam hal akses keseluruhan rencana dan kebijakan dari pengembangan keahlian untuk adopsi dan penggunaan TIK.

4. Mempertimbangkan alokasi prosentase sumber daya yang tersedia untuk mendukung kegiatan yang berorientasi perempuan termasuk sumber daya untuk mempromosikan dan mendukung pengusaha perempuan di bidang TIK, pelatihan literasi digital untuk perempuan serta akses publik bagi perempuan dan anak-anak.

5. Memastikan bahwa semua program pelatihan dan pembangunan keahlian dikembangkan dengan pertimbangan kaum perempuan di semua level pendidikan. Program ini seharusnya mempertimbangkan tema yang paling relevan bagi semua partisipan, menawarkan kesempatan pelatihan untuk semua level mulai dari level dasar hingga level yang lebih maju misalnya pemrograman dan desain sistem informasi, serta mempertimbangkan lokasi program dan gender dari pelatih.

6. Menyiapkan kuota untuk memastikan partisipasi yang sama antar kaum perempuan dan kelompok yang dimarginalisasi di semua program yang didukung oleh kebijakan dan rencana nasional khususnya populasi di daerah pedesaan dan daerah miskin.

Ada beberapa tahapan yang dapat dilakukan untuk menyusun kebijakan TIK berbasis gender adalah sebagai berikut:

1. Mendefinisikan masalah, mensyaratkan pengumpulan informasi, data, dan pengetahuan untuk menggambarkan dan mendemonstrasikan masalah dan alasan kebutuhan solusi kebijakan.

2. Melakukan perumusan kembali alternatif kebijakan, mensyaratkan opsi kebijakan yang memungkinkan untuk menyelesaikan permasalahan yang telah didefinisikan.

3. Memilih opsi kebijakan, berdasarkan analisis keuntungan dan kerugian (tahap sebelumnya) serta memilih opsi kebijakan yang optimal untuk menyelesaikan permasalahan yang telah didefinisikan.

4. Menerapkan kebijakan baru, langkah ini mensyaratkan pemahaman komprehensif terkait peran dan pengaruh semua stakeholder dan pengembangan sistem pendukung untuk menjamin pelaksanaan kebijakan.

5. Implementasi pengambilan keputusan kebijakan berkaitan dengan penentuan strategi implementasi yang dapat diimplementasikan dan berkelanjutan (sesuai dengan respon gender).

6.  Evaluasi dan pelaporan, evaluasi membutuhkan review dan analisis proses serta dampak dari kebijakan atau program.

7.  Penghentian, pembaharuan dan revisi, mensyaratkan sebuah keputusan untuk menentukan peran kebijakan di masa mendatang (baik proses maupun dampak).

Penyusun kebijakan (policy maker) harus reaktif (REACT)dalam membuat kebijakan dengan perempuan dan untuk perempuan. Ada framework REACT yang bisa dianalisis yaitu:

1. RIGHTS (HAK) untuk melindungi hukum privasi dan hak untuk online, mempersiapkan kebijakan dan pelatihan dan sumber daya untuk mengatasi kejahatan online.

2. EDUCATION (PENDIDIKAN) mengintegrasikan literasi digital dasar di kurikulum sekolah di semua jenjang pendidikan, memperluas pelatihan literasi digital hingga keahlian teknikal.

3. ACCESS (AKSES) untuk mencapai target tingkat keterjangkauan, mengembangkan solusi akses publik, membuat opsi adanya subsidi untuk paket data internet yang berfokus kepada perempuan.

4. CONTENT (KONTEN), memprioritaskan bahasa daerah untuk konten data, informasi, dan layanan bagi pemberdayaan perempuan, melakukan audit website pemerintah terkait konten yang relevan bagi perempuan.

5. TARGETS, mengadopsi target kesetaraan gender dalam bidang TIK, adanya alokasi dana yang mencukupi, mengumpulkan data TIK berdasarkan gender, pendapatan dan lokasi, serta mengembangkan indikator utama untuk mengukur dampak TIK bagi perempuan.

Setelah pelatihan 3 hari, dilanjutkan untuk menjadi narasumber workshop yang dihadiri oleh beberapa perwakilan dari instansi di level internasional. Hal ini menjadi kesempatan yang langka dapat memaparkan apa yang saya pelajari dari pelatihan sebelumnya dan memaparkan analisis kebijakan TIK berdasarkan gender dengan studi kasus di Indonesia.

  

·  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman mengikuti pre course workshop short term training dari Australia Awards di Bali

Pengalaman mengikuti Program IVLP Multi Regional "An Advanced Digital Economy" di Amerika Serikat

Supermommies